Senin, 27 Februari 2012

cerpenku


AKHIRNYA HARI ITU TIBA

Waktu. Sesuatu yang amat berharga di dunia ini, ya itulah dia. Sesuatu yang spesial, itulah dia. Bagaimana tidak? Yah seperti yang kita tahu, suatu ketika kita ingin waktu itu berjalam cepat karena ada sesuatu yang diharapkan di hari nanti. Namun, kita terkadang berharap agar waktu itu berjalan lambat. Karena apa? Karena saat itu kita sedang menikmati kebersamaan dengan orang tecinta.
Tiga tahun. Waktu yang tak sedikit. Jika dihitung secara matematika memang lama sekali. Bayangkan berapa milyar jika tiga tahun itu dihitung dalam detik. Namun, disadari atau tidak, memang tiga tahun itu terasa begitu cepat. Yah itu juga terasa untukku. Tapi, di sisi lain hidupku, waktu itu terasa amat lambat.
***       
Aku, Mutia Ayu Finzana, siswi SMP yang tak lama lagi akan lulus. Siswi yang hampir tiga tahun ini menikmati dunia SMP, dunia di mana aku belajar mengenal diriku sendiri, belajar untuk menjadi dewasa. Kini, dunia itu akan segera hilang dari hidupku. Waktu itu terasa begitu cepat saat aku mengingat itu semua, dan waktu itu, waktu yang tak kan pernah hilang dari ingatanku.
Aku, Finza, anak terakhir dari dua bersaudara. Kakak dan ayahku sudah meninggal karena kecelakaan tiga tahun lalu. Ibuku, sudah tahun kedua aku tak pernah melihatnya sejak beliau pergi bekerja di luar negeri untuk menyekolahkanku. Entah bagaimana keadaan beliau aku tak pernah tahu. Beliau tak pernah memberi kabar sekalipun. Kangen? Tak usah ditanya. Itu pasti aku rasakan tiap detik waktuku. Itulah mengapa waktu itu terasa amat lambat bagiku. Tak hentinya aku berharap untuk bisa bersama lagi. Kini aku tinggal dengan bibiku seorang
***
Bulan sabit nan indah tersenyum di luar. Bintang-bintang berkedip-kedip seolah mengajakku tersenyum. Namun, sedikitpun aku tak ingin tersenyum. Malam ini, malam yang mungkin tak berbeda dari malam yang pernah ku lewati beberapa tahun lalu yaitu malam setelah tiga hari meninggalnya ayah dan kakak tercinta. Masih teringat di benakku saat aku merenung di malam itu. Beribu-ribu tanya berlarian di pikiranku.
“Ya Alloh, kenapa kau ambil kakak dan ayahku? Kenapa? Apa Kau sudah tak sayang lagi padaku?”
Tanpa kusadar ibu masuk ke kamarku. Dan langsung memelukku erat. Aku tahu beliau mengerti apa yang aku rasakan.
“Finza, jangan ngomong gitu sayang. Alloh itu sayang sama kamu. Kamu yang sabar ya. Ibu akan selalu di sampingmu. Ibu nggak akan ninggalin kamu. Percaya sama ibu.” Kata Ibu dengan lembut mencoba menghiburku.
Masih terngiang kata-kata ibu dulu kalau beliau tak akan meninggalkanku.
Hemb...yah. Malam ini aku harus melewati malam sebelum hari perpisahan. Aku tahu besok cuma perpisahan SMP, tapi aku masih trauma dengan kata “perpisahan”. Haruskah ada perpisahan lagi dari hidupku?
Aku berusaha agar tak ada air mata malam ini. Namun, mataku tak mau kompromi. Akhirnya, air mata pun menetes di buku diary kesayanganku. Aku menangis sendiri tanpa ada yang tahu satupun karena bibiku yang sedang sakit sudah tidur di kamar depan.
Air mata itu kini benar-benar mengalir deras. Aku tak sanggup menahan sakit dalam hatiku. Perih ini seakan tak mau pergi dari hatiku. Sesak. Malam ini, entah malam keberapa kalinya aku menangis dalam sebulan ini tanpa satupun yang tahu.
***
Hari itu pun akan segera tiba.
Bersama tetes air mata, kubaca lagi diaryku yang kutulis kemarin.
Tak terasa tiga tahun telah berlalu.
Waktu yang begitu lama, terasa amat cepat dalam hidupku.
Canda, tawa, suka, duka, aku lalui bersama teman-teman. Si dia yang gokil, dia yang nyebelin, dan dia yang imut. Pak guru yang gokil, pak guru dan bu guru yang baik dan ramah. Kelas yang kadang bersih kadang kotor, tapi selalu jadi yang spesial. Semua itu akan segera di tutup dalam acara perpisahan besok lusa..
Hemmb...seandainya waktu bisa terulang, ingin rasanya me-replay tiga tahun ini dalam hidupku. Tapi itu tak mungkin. Ya Alloh semoga acara perpisahan itu tak memisahkan kebersamaan kami.

Kubuka halaman berikutnya dan kutulis lagi diaryku.
Perpisahan sekolah. Emang bisa di bilang biasa menjalaninya, tapi sekarang bukan itu yang ku permasalahkan. Saat ini aku cuma kangen Ibu. Aku ingin ibu di sampingku. Aku ingin ibu menghiburku seperti janji ibu dulu.aku ingin Ibu ada di hari kelulusanku besok. Di mana ibu? Mana janji ibu dulu? Sampai kapan aku harus terus sendiri Bu? Sudah tahun ketiga ibu tak ada kabar. Aku kangen Ibu.

Diary kecilku pun tertutup.
Malam semakin larut. Aku berusaha keras untuk menahan air mata yang terus mengalir. Rasa sesak pun mengganjal di dada. Kulihat jam weker  di meja belajar. Waktu menunjukkan pukul 02.11 WIB. Aku tak menyadari berjam-jam aku menangis. Akhirnya aku memutuskan untuk sholat tahajud. Aku berharap, memohon pada Alloh agar aku diberi kesabaran atas semuanya dan berdoa agar aku masih diberi kesempatan untuk bertemu ibu.
Tanpa sadar akupun tertidur di tempat solatku.
***
Pagi pun tiba. Mentari menyapaku dengan penuh kehangatan. Diiringi hati yang belum begitu tenang dan mata yang maih sembab, aku mulai persiapan pergi ke sekolah. Meski perasaan tak enak masih mengganjal, aku tetap berusaha agar terlihat riang di depan teman-teman. Dan semuanya pun telah siap. Ready to go! Yapz.
Bruk. “Aww!” tak sengaja aku menabrak meja belajarku. Kulihat fotoku bersama teman-teman sekolah tersayang. Tersenyum aku melihatnya. Aku bertanya dalam hati.
“Akankah ini akan berakhir hari ini? Yah beberapa jam lagi acara itu akan dimulai. Saat itu aku akan tersenyum mengikuti acaranya. Tapi, apa mungkin setelah itu senyum itu kembali? Haruskah ada perpisahan? Haruskah aku pergi dari samping mereka? Ataukah mereka yang pergi dari hidupku? Hemm yah indahnya hari-hari sekolah itu. Semoga hari ini jadi lebih indah”
Aku meletakkan foto itu kembali. Aku tak mau kesedihan terlihat di wajahku dan aku langsung berpamitan pada bibiku. Hari ini beliau terpaksa tak hadir di hari perpisahan karena sakit sejak seminggu lalu, tapi aku memintanya untuk tak mencari orang lain untuk mewakili. Aku memutuskan untuk berangkat sendiri.
***
            Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku tak henti berharap hari ini aku bisa  melihat ibu. Aku ingin melihat ibuku tersenyum dengan kelulusanku. Aku ingin menjukkan bahwa aku bisa jadi yang terbaik, seperti janjiku tiga tahun lalu saat aku melihat perpisahan kakak kelasku. Ketika itu aku berkata dalam hati, “Tiga tahun lagi aku akan menggantikan kakak-kakak yang berprestasi itu. Aku janji  di saatnya nanti aku akan di panggil untuk peringkat terbaik dan ibuku menemaniku maju bersama teman-teman yang berprestasi lain. Aku janji.”
Tapi, yah itu tinggal harapan semata. Kini, tak ada lagi semua itu.
***
Tiba di sekolah.
Persiapan acarapun di lakukan. Semua siswa sibuk dengan persiapan mereka. Rasa deg-degan pun kini menghiasi hati mereka. Hasil belajar mereka selama ini akan segera dibagikan. Akhirnya semuanya siap. Orang tua murid mulai berdatangan dan pengisi acara pun sudah siap di panggung.
Acara pun dimulai. Berbagai pertunjukkan dilakukan. Dan waktu yang di tunggu-tunggu pun tiba. Yapz...pengumuman kelulusan. Di sambutan kepala sekolah, beliau berkata bahwa semua siswa lulus. Senyum pun kini menebar di wajah siswa-siswi dan orang tua. Begitu pun aku. Tapi senyumku tak seriang mereka. Aku hanya tersenyum kecil.
Acara demi acara telah dilewati, kini saatnya pengumuman peringkat 10 besar. Satu per satu anak disebutkan mulai dari peringkat 10. Anak-anak itu pun mulai maju bersama orang tua mereka yang amat bahagia. Aku hanya bisa tersenyum melihat itu semua. Kini peringkat tiga disebutkan.
“Peringkat 3. Mutia Ayu Finzana.”
Serasa tak percaya dalam hati. Akhirnya keinginanku dulu bisa tercapai. Meski tak bisa jadi nomor satu, tapi aku bersyukur masih bisa dapat peringkat tiga. Perasaan bahagia kini tumbuh di hatiku.
Tapi...
Sesaat bahagia pun hilang. Aku terdiam sejenak. Aku menangis dalam hati. Wajah manis ibu tergambar di hatiku. Aku tak tahu apa yang sekarang ini ibu lakukan. Aku tak tahu apakah ibu juga merasakan kebahagiaanku. Aku tak tahu apakah ibu sekarang tersenyum untukku. Ribuan pertanyaan tentang ibu berlarian di pikiranku.
“Za, lagi ngapain kamu kok diam?” Dina, sahabatku, mengagetkanku. Akupun tersadar dari lamunan. “Oh iya Din.”
“Tuh kamu dipanggil. Maju sana. Udah ditunggu tuh.” Dina berkata lagi.
Aku berjalan ke panggung dengan muka yang agak  muram. Dari kejauhan dina berteriak padaku. “Za, senyum donk.” Aku pun menoleh padanya dan tersenyum untuknya. Aku tak mau dia kecewa dan kasihan melihatku.
“Nah gitu donk.”
Wajah riang ditunjukkan oleh sahabatku, Dina. Tak henti-hentinya dia bertepuk tangan untukku.
Sepuluh anak kini sudah berada di panggung. Dan orang tua mereka menemani di sampingnya, kecuali aku. Ibu guru pun bertanya.
“Lo Za, mana bibimu?”
“Nggak bisa datang Bu.” Jawabku
“Memangnya kenapa?”
“Bibi sakit sejak lima hari lalu Bu. Jadi, beliau tak bisa hadir” Itulah jawabanku yang mungkin membuat Ibu guru sedikit heran karena tak ada yang lain yang mewakiliku menggantikan bibi. Akhirnya Bu Siti, guru ekonomiku, memutuskan untuk mewakili ibuku. Aku sangat berterima kasih padanya.
Hadiah dan piagam penghargaan pun di bagikan. Semua siswa dan orang tua bertepuk tangan. Aku tersenyum melihat itu. Dan setelah semua itu selesai, kami pun kembali ke tempat duduk dan sekali lagi aku berterima kasih pada Bu Siti.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku berjalan menuju tempat dudukku semula. Dina tak henti-hentinya memanggil namaku. Teman-temanku yang lain pun mengucapkan selamat padaku.
“Selamat ya Za, bangga deh punya temen kayak kamu. hehe”
***
Perpisahan pun usai. Semunya kini bergegas menuju ke rumah. Dan sekali lagi, di perjalanan aku terbayang semua peristiwa hari ini. Detik demi detik ku baca dengan teiliti. Setelah ku pahami benar-benar, kini aku sadar. Ternyata banyak orang yang sayang sama aku. Banyak orang yang peduli sama aku. Ibu guru, Dina, dan teman-temanku. Tak satupun dari mereka yang acuh sama aku. Aku sadar, ternyata aku tak pernah sendiri. Meski ibu tak di sampingku, aku masih punya mereka yang sayang sama aku dan aku yakin Alloh selalu bersamaku, memberikan yang terbaik untukku.
Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah travel di depan rumah. Aku penasaran siapa yang datang ke rumah. Aku bergegas masuk. Tanpa kusangka, sosok yang tak asing duduk di kursi tamu. Dan itu....
“Ibuuuuu..” Aku berteriak dan berlari memeluknya. Beliau langsung menoleh padaku dan memelukku dengan kencangnya. Air mataku pun terjatuh lagi. Tapi kawan, kali ini adalah air mata “bahagia” dari hatiku.
Ya Alloh, sungguh besar nikmat yang telah Kau berikan padaku. Meski aku sendiri, tapi aku yakin Kau selalu di sampingku. Aku yakin Kau mengabulkan doaku. Kini, hari yang amat ku nanti pun hadir.
Dan akhirnya “Hari Itu pun Tiba”
***