AKHIRNYA HARI ITU
TIBA
Waktu.
Sesuatu yang amat berharga di dunia ini, ya itulah dia. Sesuatu yang spesial,
itulah dia. Bagaimana tidak? Yah seperti yang kita tahu, suatu ketika kita
ingin waktu itu berjalam cepat karena ada sesuatu yang diharapkan di hari
nanti. Namun, kita terkadang berharap agar waktu itu berjalan lambat. Karena
apa? Karena saat itu kita sedang menikmati kebersamaan dengan orang tecinta.
Tiga
tahun. Waktu yang tak sedikit. Jika dihitung secara matematika memang lama
sekali. Bayangkan berapa milyar jika tiga tahun itu dihitung dalam detik. Namun,
disadari atau tidak, memang tiga tahun itu terasa begitu cepat. Yah itu juga
terasa untukku. Tapi, di sisi lain hidupku, waktu itu terasa amat lambat.
***
Aku,
Mutia Ayu Finzana, siswi SMP yang tak lama lagi akan lulus. Siswi yang hampir
tiga tahun ini menikmati dunia SMP, dunia di mana aku belajar mengenal diriku
sendiri, belajar untuk menjadi dewasa. Kini, dunia itu akan segera hilang dari
hidupku. Waktu itu terasa begitu cepat saat aku mengingat itu semua, dan waktu
itu, waktu yang tak kan pernah hilang dari ingatanku.
Aku,
Finza, anak terakhir dari dua bersaudara. Kakak dan ayahku sudah meninggal
karena kecelakaan tiga tahun lalu. Ibuku, sudah tahun kedua aku tak pernah
melihatnya sejak beliau pergi bekerja di luar negeri untuk menyekolahkanku.
Entah bagaimana keadaan beliau aku tak pernah tahu. Beliau tak pernah memberi
kabar sekalipun. Kangen? Tak usah ditanya. Itu pasti aku rasakan tiap detik
waktuku. Itulah mengapa waktu itu terasa amat lambat bagiku. Tak hentinya aku
berharap untuk bisa bersama lagi. Kini aku tinggal dengan bibiku seorang
***
Bulan
sabit nan indah tersenyum di luar. Bintang-bintang berkedip-kedip seolah
mengajakku tersenyum. Namun, sedikitpun aku tak ingin tersenyum. Malam ini,
malam yang mungkin tak berbeda dari malam yang pernah ku lewati beberapa tahun
lalu yaitu malam setelah tiga hari meninggalnya ayah dan kakak tercinta. Masih teringat
di benakku saat aku merenung di malam itu. Beribu-ribu tanya berlarian di
pikiranku.
“Ya
Alloh, kenapa kau ambil kakak dan ayahku? Kenapa? Apa Kau sudah tak sayang lagi
padaku?”
Tanpa
kusadar ibu masuk ke kamarku. Dan langsung memelukku erat. Aku tahu beliau
mengerti apa yang aku rasakan.
“Finza,
jangan ngomong gitu sayang. Alloh itu sayang sama kamu. Kamu yang sabar ya. Ibu
akan selalu di sampingmu. Ibu nggak akan ninggalin kamu. Percaya sama ibu.” Kata
Ibu dengan lembut mencoba menghiburku.
Masih
terngiang kata-kata ibu dulu kalau beliau tak akan meninggalkanku.
Hemb...yah.
Malam ini aku harus melewati malam sebelum hari perpisahan. Aku tahu besok cuma
perpisahan SMP, tapi aku masih trauma dengan kata “perpisahan”. Haruskah ada
perpisahan lagi dari hidupku?
Aku
berusaha agar tak ada air mata malam ini. Namun, mataku tak mau kompromi.
Akhirnya, air mata pun menetes di buku diary kesayanganku. Aku menangis sendiri
tanpa ada yang tahu satupun karena bibiku yang sedang sakit sudah tidur di
kamar depan.
Air
mata itu kini benar-benar mengalir deras. Aku tak sanggup menahan sakit dalam
hatiku. Perih ini seakan tak mau pergi dari hatiku. Sesak. Malam ini, entah
malam keberapa kalinya aku menangis dalam sebulan ini tanpa satupun yang tahu.
***
Hari
itu pun akan segera tiba.
Bersama
tetes air mata, kubaca lagi diaryku yang kutulis kemarin.
Tak terasa tiga tahun
telah berlalu.
Waktu yang begitu
lama, terasa amat cepat dalam hidupku.
Canda, tawa, suka,
duka, aku lalui bersama teman-teman. Si dia yang gokil, dia yang nyebelin, dan dia
yang imut. Pak guru yang gokil, pak guru dan bu guru yang baik dan ramah. Kelas
yang kadang bersih kadang kotor, tapi selalu jadi yang spesial. Semua itu akan
segera di tutup dalam acara perpisahan besok lusa..
Hemmb...seandainya
waktu bisa terulang, ingin rasanya me-replay tiga tahun ini dalam hidupku. Tapi
itu tak mungkin. Ya Alloh semoga acara perpisahan itu tak memisahkan
kebersamaan kami.
Kubuka
halaman berikutnya dan kutulis lagi diaryku.
Perpisahan sekolah. Emang
bisa di bilang biasa menjalaninya, tapi sekarang bukan itu yang ku
permasalahkan. Saat ini aku cuma kangen Ibu. Aku ingin ibu di sampingku. Aku
ingin ibu menghiburku seperti janji ibu dulu.aku ingin Ibu ada di hari
kelulusanku besok. Di mana ibu? Mana janji ibu dulu? Sampai kapan aku harus
terus sendiri Bu? Sudah tahun ketiga ibu tak ada kabar. Aku kangen Ibu.
Diary
kecilku pun tertutup.
Malam
semakin larut. Aku berusaha keras untuk menahan air mata yang terus mengalir.
Rasa sesak pun mengganjal di dada. Kulihat jam weker di meja belajar. Waktu menunjukkan pukul
02.11 WIB. Aku tak menyadari berjam-jam aku menangis. Akhirnya aku memutuskan
untuk sholat tahajud. Aku berharap, memohon pada Alloh agar aku diberi
kesabaran atas semuanya dan berdoa agar aku masih diberi kesempatan untuk
bertemu ibu.
Tanpa
sadar akupun tertidur di tempat solatku.
***
Pagi
pun tiba. Mentari menyapaku dengan penuh kehangatan. Diiringi hati yang belum
begitu tenang dan mata yang maih sembab, aku mulai persiapan pergi ke sekolah.
Meski perasaan tak enak masih mengganjal, aku tetap berusaha agar terlihat
riang di depan teman-teman. Dan semuanya pun telah siap. Ready to go! Yapz.
Bruk.
“Aww!” tak sengaja aku menabrak meja belajarku. Kulihat fotoku bersama teman-teman
sekolah tersayang. Tersenyum aku melihatnya. Aku bertanya dalam hati.
“Akankah
ini akan berakhir hari ini? Yah beberapa jam lagi acara itu akan dimulai. Saat
itu aku akan tersenyum mengikuti acaranya. Tapi, apa mungkin setelah itu senyum
itu kembali? Haruskah ada perpisahan? Haruskah aku pergi dari samping mereka?
Ataukah mereka yang pergi dari hidupku? Hemm yah indahnya hari-hari sekolah
itu. Semoga hari ini jadi lebih indah”
Aku
meletakkan foto itu kembali. Aku tak mau kesedihan terlihat di wajahku dan aku
langsung berpamitan pada bibiku. Hari ini beliau terpaksa tak hadir di hari
perpisahan karena sakit sejak seminggu lalu, tapi aku memintanya untuk tak
mencari orang lain untuk mewakili. Aku memutuskan untuk berangkat sendiri.
***
Di sepanjang perjalanan menuju
sekolah, aku tak henti berharap hari ini aku bisa melihat ibu. Aku ingin melihat ibuku
tersenyum dengan kelulusanku. Aku ingin menjukkan bahwa aku bisa jadi yang
terbaik, seperti janjiku tiga tahun lalu saat aku melihat perpisahan kakak
kelasku. Ketika itu aku berkata dalam hati, “Tiga tahun lagi aku akan
menggantikan kakak-kakak yang berprestasi itu. Aku janji di saatnya nanti aku akan di panggil untuk
peringkat terbaik dan ibuku menemaniku maju bersama teman-teman yang
berprestasi lain. Aku janji.”
Tapi,
yah itu tinggal harapan semata. Kini, tak ada lagi semua itu.
***
Tiba
di sekolah.
Persiapan
acarapun di lakukan. Semua siswa sibuk dengan persiapan mereka. Rasa deg-degan
pun kini menghiasi hati mereka. Hasil belajar mereka selama ini akan segera
dibagikan. Akhirnya semuanya siap. Orang tua murid mulai berdatangan dan
pengisi acara pun sudah siap di panggung.
Acara
pun dimulai. Berbagai pertunjukkan dilakukan. Dan waktu yang di tunggu-tunggu
pun tiba. Yapz...pengumuman kelulusan. Di sambutan kepala sekolah, beliau
berkata bahwa semua siswa lulus. Senyum pun kini menebar di wajah siswa-siswi
dan orang tua. Begitu pun aku. Tapi senyumku tak seriang mereka. Aku hanya
tersenyum kecil.
Acara
demi acara telah dilewati, kini saatnya pengumuman peringkat 10 besar. Satu per
satu anak disebutkan mulai dari peringkat 10. Anak-anak itu pun mulai maju
bersama orang tua mereka yang amat bahagia. Aku hanya bisa tersenyum melihat
itu semua. Kini peringkat tiga disebutkan.
“Peringkat
3. Mutia Ayu Finzana.”
Serasa
tak percaya dalam hati. Akhirnya keinginanku dulu bisa tercapai. Meski tak bisa
jadi nomor satu, tapi aku bersyukur masih bisa dapat peringkat tiga. Perasaan
bahagia kini tumbuh di hatiku.
Tapi...
Sesaat
bahagia pun hilang. Aku terdiam sejenak. Aku menangis dalam hati. Wajah manis
ibu tergambar di hatiku. Aku tak tahu apa yang sekarang ini ibu lakukan. Aku
tak tahu apakah ibu juga merasakan kebahagiaanku. Aku tak tahu apakah ibu
sekarang tersenyum untukku. Ribuan pertanyaan tentang ibu berlarian di pikiranku.
“Za,
lagi ngapain kamu kok diam?” Dina, sahabatku, mengagetkanku. Akupun tersadar
dari lamunan. “Oh iya Din.”
“Tuh
kamu dipanggil. Maju sana. Udah ditunggu tuh.” Dina berkata lagi.
Aku
berjalan ke panggung dengan muka yang agak
muram. Dari kejauhan dina berteriak padaku. “Za, senyum donk.” Aku pun
menoleh padanya dan tersenyum untuknya. Aku tak mau dia kecewa dan kasihan
melihatku.
“Nah
gitu donk.”
Wajah
riang ditunjukkan oleh sahabatku, Dina. Tak henti-hentinya dia bertepuk tangan
untukku.
Sepuluh
anak kini sudah berada di panggung. Dan orang tua mereka menemani di
sampingnya, kecuali aku. Ibu guru pun bertanya.
“Lo
Za, mana bibimu?”
“Nggak
bisa datang Bu.” Jawabku
“Memangnya
kenapa?”
“Bibi
sakit sejak lima hari lalu Bu. Jadi, beliau tak bisa hadir” Itulah jawabanku
yang mungkin membuat Ibu guru sedikit heran karena tak ada yang lain yang
mewakiliku menggantikan bibi. Akhirnya Bu Siti, guru ekonomiku, memutuskan
untuk mewakili ibuku. Aku sangat berterima kasih padanya.
Hadiah
dan piagam penghargaan pun di bagikan. Semua siswa dan orang tua bertepuk
tangan. Aku tersenyum melihat itu. Dan setelah semua itu selesai, kami pun
kembali ke tempat duduk dan sekali lagi aku berterima kasih pada Bu Siti.
Dengan
perasaan yang campur aduk, aku berjalan menuju tempat dudukku semula. Dina tak
henti-hentinya memanggil namaku. Teman-temanku yang lain pun mengucapkan
selamat padaku.
“Selamat
ya Za, bangga deh punya temen kayak kamu. hehe”
***
Perpisahan
pun usai. Semunya kini bergegas menuju ke rumah. Dan sekali lagi, di perjalanan
aku terbayang semua peristiwa hari ini. Detik demi detik ku baca dengan
teiliti. Setelah ku pahami benar-benar, kini aku sadar. Ternyata banyak orang
yang sayang sama aku. Banyak orang yang peduli sama aku. Ibu guru, Dina, dan
teman-temanku. Tak satupun dari mereka yang acuh sama aku. Aku sadar, ternyata
aku tak pernah sendiri. Meski ibu tak di sampingku, aku masih punya mereka yang
sayang sama aku dan aku yakin Alloh selalu bersamaku, memberikan yang terbaik
untukku.
Sesampainya
di rumah, aku melihat sebuah travel di depan rumah. Aku penasaran siapa yang
datang ke rumah. Aku bergegas masuk. Tanpa kusangka, sosok yang tak asing duduk
di kursi tamu. Dan itu....
“Ibuuuuu..”
Aku berteriak dan berlari memeluknya. Beliau langsung menoleh padaku dan memelukku
dengan kencangnya. Air mataku pun terjatuh lagi. Tapi kawan, kali ini adalah
air mata “bahagia” dari hatiku.
Ya
Alloh, sungguh besar nikmat yang telah Kau berikan padaku. Meski aku sendiri,
tapi aku yakin Kau selalu di sampingku. Aku yakin Kau mengabulkan doaku. Kini,
hari yang amat ku nanti pun hadir.
Dan
akhirnya “Hari Itu pun Tiba”
***